FORDEP | Proklamasi 17 Agustus 1945 tak hanya terdengar di Jakarta. Kabar itujuga menyebar ke seluruh daerah. Bandung, Bogor dan wilayah-wilayah Jawa Barat lainnya ikut menyambut pekik merdeka tersebut. Ya, masa bersiap atau periode ketika pemuda dan elemen masyarakat bersatu padu menjadi martir kelahiran republik balita ini telah dimulai. Namun, pekik 'merdeka' seperti tak mendapat gemanya di Kota Depok.
Depok saat itu dikenal didiami para keturunan budak Cornelis Chastelein, eks tenaga pembukuan VOC. Lahan Chastelein diwariskan kepada para budak yang berasal dari berbagai wilayah timur nusantara seperti Pulau Bali dan Sulawesi.
Setelah mendapat warisan, mereka pun membentuk Pemerintahan Kota Praja atau gemeente bestuur Depok. Kentalnya nuansa Belanda pada diri eks kaum budak itu membuat Depok menjadi target penyerangan para pemuda.
Periode Bersiap yang dimulai setelah kumandang proklamasi hingga akhir 1945, memang diawali dengan aksi para pemuda. Pencegatan dan penyerangan terhadap patroli Jepang, Belanda, dan Sekutu, menjadi pemandangan jamak masa itu.
Tak hanya penyerangan, para pemuda juga menduduki aset-aset asing dan menyatakannya sebagi milik Pemerintah Republik Indonesia. Depok pun bernasib serupa. Tanah partikulir warisan Chastelein dan gaya hidup orang Depok lama yang dianggap ke-Belanda-Belanda-an, membuat aksi menduduki wilayah tersebut hanya tinggal menunggu waktu.
Interaksi kaum Depok lama yang kerap diolok-olok sebagai Belanda Depok dengan warga pribumi kampung, sebenarnya sudah terjadi dalam urusan pengolahan lahan. Akan tetapi, periode Bersiap adalah momen hitam putih. Sedikit saja berbau Belanda, bisa kena libas pemuda.
Masa tersebut datang pada Oktober 1945. Masyarakat Depok mengenalnya sebagai peristiwa Gedoran. Dalam bukunya, Sejarah Depok 1950-1990-an, Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam mengupas peristiwa tersebut. Peristiwa Gedoran dimulai dengan pemboikotan penduduk. Sejumlah pemuda, tulisnya, menghalangi pedagang menjual barang jualannya ke penduduk Depok pada 7 Oktober 1945.
Pada 9 Oktober 1945, terjadi peristiwa perampokan atas lima keluarga. Menariknya, perampok datang dini hari dengan membawa senjata tajam dan bendera merah putih. Aksi perampokan semakin massif pada 11 Oktober 1945. Saat itu, sekitar 4000 orang memasuki Depok secara bergelombang dan mengusir orang Eropa dan warga Depok lama dari rumahnya.
Dua hari selanjutnya, perampokan dan kekacauan masih terjadi. Hingga akhirnya, para pemuda yang tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat dan Pelopor mengumpulkan warga Depok lama serta penduduk Eropa guna ditahan di Bogor.
Kenangan seorang Opa Dolf
Jozua Dolf Jonathans (85), masih ingat benar peristiwa tersebut. "Sebelas Oktober itu ulang tahun kakak saya," ujar Jozua yang lebih akrab disapa Opa Dolf tersebut beberapa waktu lalu.
Momen ulang tahun sang kakak dirayakan dengan memasak berbagai makanan di kediamannya di Kerkstraat yang sekarang bernama Jalan Pemuda. Depok di masa itu, tutur Dolf, sangat berbeda dengan sekarang.
"Di belakang (rumah) masih ada hutan, pohon gede, masih ada sawah," ujarnya.
Dan perampokan di kediaman kelurarga Dolf pun terjadi. Sejumlah orang mendatangi rumah sembari berteriak-teriak 'merdeka'. Keluraga Dolf lari berhamburan menuju hutan untuk bersembunyi.
Ketika mereka kembali pulang, jalanan sudah dipenuhi kapuk - kapuk kasur yang dirobek. "Meja enggak ada, kasur enggak semua kosong kaya lapangan tenis," ujar Dolf terkait raibnya perabotan rumah.
Malamnya, keluarga memilih tidur di lantai ubin rumah karena ketakutan. Bunyi tiang listrik yang dipukul terdengar di malam mencekam itu. Dolf menuturkan, pukulan tiang listrik yang saling bersahutan menjadi kode aksi yang dikirim ke Jakarta.
Pada 12 Oktober, warga Depok lama yang merupakan para pewaris aset Chastelein ditangkap para pemuda. Dolf yang masih berusia 13 tahun ikut ditangkap dan dibawa ke Penjara Paledang, Bogor.
"Saya ikut papa di Penjara Paledang Bogor, naik kereta api, enak gratis," ujarnya sembari terkekeh.
Sedangkan kaum perempuan dimasukkan ke Gedung Gemeente Bestuur yang sekarang menjadi Rumah Sakit Harapan. Dia memperkirakan ada sekitar 500-600 jiwa dari keturuan 12 marga budak Chastelein yang ditahan waktu itu. Sejumlah korban juga berjatuhan dalam kejadian yang sempat dianggap sensitif dibicarakan.
Peristiwa Gedoran dan olokan 'Belanda Depok'
Persoalan kenapa pekik merdeka tak menuai respon warga Depok lama, memunculkan berbagai versi. Namun, para keturunan budak tersebut sudah mengalami kemerdekaan ketika dibebaskan majikannya, Cornelis Chastelein, saat wafat 28 Juni 1714.
Adanya kabar kemerdekaan lain pada Agustus 1945 barangkali membuat mereka masih membutuhkan waktu memahaminya. Kini, para keturunan kaum Depok lama juga telah menyebar dan menjadi bagian tak terpisahkan dari warga negara ini.
Ferdy Jonathans (63) menuturkan, kaum Depok lama sangat tidak menyukai panggilan Belanda Depok. "Itu hanya olok-olokan, akhirnya melekat," ucap Ferdy yang merupakan Pengurus Bidang Sejarah dan Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein.
Kaum Depok asli tersebut merupakan warga Indonesia yang tak memiliki darah atau pun bentuk fisik seperti Belanda totok. Nasionalisme mereka tak perlu diragukan meski pernah diwarnai dinamika di masa revolusi.
Peristiwa Gedoran sempat menjadi hal yang agak tabu diceritakan. Menceritakanya seolah menguak luka lama dalam perjalanan revolusi negeri ini. Namun, sejarah tetap perlu diceritakan dan dicatat. Setidaknya, agar anak-anak bangsa bisa belajar dari masa lalunya.***
0 Comments